TINJAUAN FILSAFAT DAN PSIKOLOGI KONSTRUKTIVISME: PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG MELIBATKAN PENGGUNAAN POLA PIKIR INDUKTIF-DEDUKTIF

Oleh: Rochmad
(Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNNES)

Abstrak: Pandangan bahwa siswa membangun pengetahuan sendiri berdasar pengalaman dikenal dengan istilah konstruktivisme. Inti dari konstruktivisme adalah siswa secara aktif membangun pengetahuan dan maknanya dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri baik secara individu maupun sosial. Ditinjau dari segi pembelajaran, konstruktivisme adalah teori pembelajaran yang berakar pada keduanya filsafat dan psikologi. Dalam makalah ini disajikan tiga kategori konstruktivisme: konstruktivisme kognitif, konstruktivisme radikal, dan konstruktivisme sosial. Di samping itu disajikan dasar-dasar filosofi dan psikologi pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif.
Kata kunci: konstruktivisme, kognitif, konstruktivisme kognitif, konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, pembelajaran matematika, pola pikir induktif-deduktif.

A. PENDAHULUAN
Hiebert (2003) memberi contoh pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas yang berpusat pada guru sebagai berikut. Selama berlangsungnya pembelajaran matematika guru hanya memberi sedikit perhatian dalam membantu siswa mengembangkan ide-ide konseptual dan sedikit perhatian pada hubungan antara prosedur-prosedur yang dipelajari dan konsep yang menjadikan prosedur itu dapat dikerjakan. Menurut penelitian yang dilakukan Stigler dan Heibert (dalam Heibert, 2003) bahwa 78% dari seluruh topik matematika yang diajarkan, guru menyampaikan prosedur-prosedur dan ide-ide tetapi tanpa megembangkannya.
Salah satu ciri pembelajaran matematika tradisional adalah dominasi guru di kelas. Dalam melaksanakan pembelajaran matematika di kelas guru menyampaikan konsep-konsep atau struktur-struktur matematika secara deduktif, guru menulis di papan tulis dan siswa mencatat, guru menyajikan contoh dan siswa bersifat pasif waktunya lebih banyak untuk mendengarkan penjelasan guru dan mencatat, selanjutnya guru memberi latihan (soal) dengan tujuan agar siswa lebih memahami konsep yang baru saja disampaikan dan siswa mengerjakan latihan tersebut seperti atau mirip dengan contoh yang baru saja diberikan guru.

Pembelajaran matematika di Indonesia selama ini masih berpusat pada guru. Banyak guru dalam kegiatan mengajar belajar matematika di kelas kurang menekankan pada aspek kemampuan siswa dalam menemukan kembali konsep-konsep dan struktur-struktur matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Menurut Ratumanan (2003) pembelajaran matematika di Indonesia bersifat behavioristik dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan hukum latihan. Guru mendominasi kelas dan menjadi sumber utama pengetahuan, kurang memperhatikan aktivitas aktif siswa, interaksi siswa, negosiasi makna, dan konstruksi pengetahuan. Dengan demikian, pembelajaran matematika beracuan behaviorisme berorientasi pada hasil dan latihan yang diberikan berbasis tujuan. Perancang pembelajaran matematika beracuan behaviorisme mendefinisikan pembelajaran dalam tujuan-tujuan yang berupa tingkah laku dan ukuran penampilan tingkah laku (Wilson, Teslow, dan Taylor, 1993).

Untuk mengetahui bagaimana guru matematika SMP/MTs dalam melaksanakan pembelajaran matematika di kelas, penulis mengajukan pertanyaan tertulis kepada 29 guru-guru matematika yang hadir dalam acara MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) matematika di MTsN Model Parakan Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Ke-29 guru tersebut adalah guru-guru matematika SMP/MTs baik negeri maupun swasta yang berasal dari 3 Kecamatan di Kabupaten Temanggung, yaitu Kecamatan Parakan, Kecamatan Bulu, dan Kecamatan Kedu. Salah satu pertanyaan tertulis yang diajukan kepada para guru matematika sebagai berikut: “Kita biasa melaksanakan pembelajaran matematika di kelas, tulislah secara singkat langkah-langkah pembelajaran yang biasa Bapak/Ibu lakukan mulai masuk kelas sampai meninggalkan kelas”.
Berdasar jawaban para guru matematika SMP/MTs tersebut, disimpulkan bahwa pada umumnya langkah-langkah pembelajaran matematika yang biasa mereka lakukan sebagai berikut: guru membuka pembelajaran, menanyakan materi yang telah dipelajari, dan membahas hasil tugas yang dikerjakan siswa di rumah. Selanjutnya guru menyajikan materi, memberi contoh-contoh soal, memberi latihan untuk dikerjakan di kelas terkait dengan materi yang baru saja diterangkan. Di akhir pembelajaran guru memberi tugas untuk dikerjakan di rumah, dan menutup pembelajaran.

Di samping itu, dari berbagai pengalaman mengikuti seminar berkaitan dengan pembelajaran matematika, mengamati pelaksanaan micro teaching mata pelajaran matematika guru-guru SMP/MTs, dan wawancara dengan beberapa guru matematika SMP/MTs, diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran matematika di SMP/MTs selama ini berpusat pada guru dan langkah-langkah pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru-guru matematika SMP/MTs dilakukan dengan pola informasi-contoh soal-latihan. Pembelajaran yang dilakukan para guru matematika kurang bahkan tidak mencirikan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme dan kebanyakan guru tidak merancang pembelajaran matematika yang melibatkan kegiatan belajar menggunaan pola pikir induktif-deduktif.

Sebagai contoh, guru menyatakan bahwa luas daerah segitiga dapat dicari dengan rumus “setengah alas dikalikan tingginya” tanpa mendiskusikan bagaimana cara memperoleh rumus tersebut dan mengapa rumus dapat digunakan. Selanjutnya dengan cara rutin pembelajaran matematika berlangsung dengan diawali melakukan “demonstrasi” dilanjutkan dengan latihan. Akibatnya hampir seluruh waktu yang tersedia bagi siswa di kelas hanya untuk kegiatan meniru contoh yang diberikan guru, dan sedikit waktu digunakan untuk melakukan kegiatan kreatif, misalnya menemukan kembali prosedur baru atau menganalisis masalah baru.

Ketidaktepatan guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran menjadi salah satu faktor penyebab prestasi belajar matematika siswa rendah. Kesulitan siswa dalam mempelajari matematika di sekolah di samping disebabkan oleh sifat abstrak matematika itu sendiri juga disinyalir disebabkan oleh guru yang kurang tepat dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran matematika di kelas. Suwarsono (1999) menyatakan bahwa kesulitan siswa dalam mempelajari matematika di sekolah rupanya juga tidak terlepas dari strategi pembelajaran yang selama ini digunakan, yaitu strategi pembelajaran yang menggunakan sistem klasikal, dengan metode ceramah sebagai metode utama.

Marpaung (2003) menyatakan paradigma pembelajaran yang kita gunakan sebagai pembelajaran matematika selama bertahun-tahun adalah paradigma mengajar dan banyak dipengaruhi oleh psikologi tingkah laku, bukan paradigma belajar. Dalam kegiatan pembelajaran matematika guru mendominasi kelas dan siswa kurang dilibatkan dalam mengkonstruksi konsep, ide atau prinsip menurut caranya sendiri. Guru tidak menuntut dari siswa kemampuan bernalar, melihat keterkaitan antar konsep/materi, berkomunikasi dan memecahkan masalah. Siswa tidak dilatih berinteraksi dan bernegosiasi dengan baik, tidak diberi kesempatan untuk melakukan refleksi, juga tidak diberi kesempatan mengembangkan strategi sendiri. Marpaung (dalam Ratumanan, 2003) berpendapat bahwa matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafal. Pembelajaran yang didasarkan pada paradigma mengajar, siswa hanya mengandalkan telinga dan matanya dalam belajar, lalu berusaha menghafalkan apa yang mereka dengar dan lihat.

Berbagai upaya untuk mengatasi kesulitan belajar siswa tersebut telah banyak dilakukan, namun hasilnya belum memuaskan. Salah satu cara misalnya dengan memperhatikan penyebab kesulitan belajar matematika baik yang bersumber dari "diri siswa" maupun dari "luar diri siswa". Selama ini, seringkali hanya penyebab kesulitan yang bersumber dari "diri siswa" yang mendapat sorotan tajam. Seolah-olah tidak ada penyebab kesulitan yang bersumber justru dari "luar diri siswa", misalnya dari "cara menyajikan pelajaran" atau "suasana pembelajaran" yang dilaksanakan (Soedjadi, 2003).

Tulisan ini bertujuan menyajikan konstruktivisme ditinjau dari epitemology yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan, dan membahas dasar-dasar filosofi dan psikologi pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif.

B. TINJAUAN FILSAFAT KONSTRUKTIVISME
Sekitar tahun 1985 orang jarang mendengar kata konstruktivisme (Davis, Maher dan Nodding, 1990). Istilah konstruktivisme dikenal mengacu pada teori perkembangan struktur kognitif dari Piaget (English dan Halford, 1995: 11). Dalam perkembangannya konstruktivisme memiliki arti bermacam-macam. Berikut ini disajikan beberapa pendapat tentang pengertian konstruktivisme yang dikemukakan oleh filsof, psikolog, dan pendidik.

Konstruktivisme yang dikenal dari kerja Piaget yang menyatakan bahwa pengetahuan konseptual tidak dapat ditransfer dari seseorang ke orang lainnya, melainkan harus dikonstruksi oleh setiap orang berdasar pengalaman mereka sendiri (Nik Pa dalam English dan Halford, 1995: 11). Konstrukivisme menurut von Glasersfeld (von Glasersfeld, 1984) berpendapat pengetahuan adalah secara aktif diterima orang melalui indera atau melalui komunikasi atau pengalaman. Orang menginterpretasi dan mengkonstruksi realitas berbasis pengalaman dan interaksinya dengan lingkungannya.

Fosnot (dalam Doolittle dan Camp, 1999: 5) menyatakan konsep bahwa siswa membangun pengetahuan berdasar pengalaman dinamakan konstruktivisme. Nodding (1990:7) menyatakan konstruktivisme dapat dikarakteristikkan sebagai posisi kognitif dan perspektif metodologis. Slavin (2000: 256) menyatakan konstruktivisme memandang siswa secara konstan memeriksa informasi baru terhadap aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan bila mereka bekerja dalam waktu relatif singkat. Menurut Doolitle dan Camp (1999) inti dari konstruktivisme adalah aktif memahami dan membangun pengetahuan sendiri berdasar pengalamannya.

Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intra-psikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan.

Berdasar beberapa pendapat tentang pengertian konstruktivisme yang di kemukakan Piaget, Nik Pa, von Glasersfeld, Fosnot, Nodding, Slavin, Doolitlle dan Camp, dan Vygotsky tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat diartikan sebagai suatu pandangan dalam memperoleh pemahaman terhadap suatu pengetahuan yang dilakukan dengan cara aktif mengkontruksi pengetahuan sendiri berdasar pengalaman orang itu sendiri. Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut dapat dilakukan secara individu atau melalui interaksi sosial.

Berkaitan dengan pembelajaran matematika, perbelajaran matematika beracuan konstruktivisme adalah pembelajaran yang melibatkan siswa aktif belajar memahami dan membangun pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam proses membangun pengetahuan matematika, siswa berinteraksi dengan lingkungan dan dihadapkan dengan informasi baru, informasi baru tersebut oleh kognisi siswa diserap melalui adaptasi. Sehingga aturan-aturan lama dapat dimodifikasi atau siswa membentuk aturan-aturan baru dalam benaknya.

Terdapat banyak ragam konstruktivisme, Ernest (dalam Murphy, 1997) menyatakan ragam konstruktivisme sebanyak para penelitinya: “there are as many varieties of constructivism as there are researcher”. Jonassen (dalam Wilson, Teslow, dan Taylor, 1993) menyatakan pengertian konstruktivisme sulit dibakukan karena meliputi spektrum keyakinan yang luas tentang kognisi. Adanya perbedaan keyakinan tentang kognisi ini menjadikan perbedaan dalam epistemologi konstruktivisme. Dengan demikian, epistemologi konstruktivisme juga sulit dibakukan sehingga berdampak memungkinkan orang memperoleh interpretasi berbeda-beda bergantung pada siapa yang membaca dan epistemologi konstruktivisme yang mendasari penulisannya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Murphy (1997) bahwa epistemologi konstruktivisme sulit dirumuskan, bergantung pada apa yang dibaca orang tersebut, siapapun dapat memiliki interpretasi berbeda dengan lainnya.

Meskipun epistemologi konstruktivisme sulit dibakukan tetapi ada perkembangan pandangan tentang bagaimana cara orang mengkontruksi pengetahuan. Misalnya Heylighen (dalam Murphy, 1997) menyatakan sejarah epistemologi bergerak dari pandangan statis dan pasif terhadap ilmu pengetahuan menuju ke pandangan aktif dan adaptif. Perkembangan epitemologi konstruktivisme tersebut juga dapat disinyalir dari pendapat para ahli pendidikan. Misalnya von Glasersfeld, Doolittle, dan Camp. von Glasersfeld mengemukakan epistemologi konstruktivisme berdasar epistemologi konstruktivisme yang dikemukakan Piaget; dan Doolittle dan Camp dengan mempertimbangkan konstruktivisme yang dikemukakan Vygotsky mengembangkan epistemologi von Glasersfeld (Doolittle dan Camp, 1999).

Von Glasersfeld (dalam Doolittle dan Camp, 1999: 5) mengemukakan tiga keyakinan (tenet) sebagai epistemologi konstruktivisme.


(1) Knowledge is not passively accumulated, but rather, is the result of active cognizing by the individual; (2) Cognition is an adaptive process that functions to make an individual's behavior more viable given a particular environment; (3) Cognition organizes and makes sense of one's experience, and is not a process to render an accurate representation of reality.
Artinya sebagai berikut.
(1) Pengetahuan tidak dihimpun secara pasif, tetapi dihasilkan melalui kognisi aktif individu.
(2) Kognisi merupakan proses adaptif yang berfungsi membuat perilaku individu lebih sesuai pada suatu lingkungan tententu yang diberikan.
(3) Mengorganisasi kognisi dapat membuat pengertian dari pengalaman seseorang, dan bukan suatu proses untuk menghasilkan representasi akurat dari kenyataan.


Doolittle dan Camp (1999: 5) mengacu pada pendapat Dewey, Garisson, Larochelle, Bednarz dan Garisson, Gergen, dan Maturana dan Varella, menambah sebuah keyakinan (tenet) pada epistemologi konstruktivisme yang dikemukakan oleh von Glasersfeld sebagai berikut:
(4) Knowing has roots both in biological/neurological construction, and in social, cultural, and language-based interactions.
Artinya sebagai berikut.
(4) Pengetahuan berakar dalam konstruksi biologis/neurologis dan dalam interaksi sosial, budaya, dan bahasa.


Doolittle dan Camp (1999) memandang konstruktivisme tidak sebagai satu kesatuan (unitary), tetapi memandang sebagai rangkaian (continuum) teoritis. Dengan memandang konstruktivisme sebagai rangkaian teoritis ini, Doolitte dan Camp mengklasifikasikan pengertian konstruktivisme dalam konstruktivisme kognitif, konstruktivisme radikal, dan konstruktivisme sosial berdasar berapa keyakinan yang dijadikan acuan. Keempat epistemologi tersebut memberikan dasar bagi prinsip-prinsip dasar pembelajaran beracuan konstruktivisme, dan menghasilkan berbagai tipe pembelajaran beracuan konstruktivisme.


Konstruktivisme kognitif mencakup dua epistemologi konstruktivisme yang pertama, yaitu pengetahuan tidak dihimpun secara pasif, tetapi dihasilkan melalui kognisi aktif individu dan kognisi merupakan proses adaptif yang berfungsi membuat perilaku individu lebih sesuai pada suatu lingkungan tertentu yang diberikan. Berdasar hasil penelitian Doolittle dan Camp (1999) bahwa dalam pendidikan teknik dan karir, konstruktivisme kognitif adalah yang paling cocok menjadi acuan. Dari sudut pandang konstruktivisme kognitif, pengetahuan merupakan hasil internalisasi dan rekonstruksi dari realitas eksternal (Doolittle dan Camp, 1999). Hasil dari proses internalisasi ini adalah struktur-struktur dan proses-proses kognitif yang secara akurat berkaitan dengan struktur-struktur dan proses-proses yang terdapat di dunia nyata. Proses internalisasi dan rekonstruksi dari realitas eksternal adalah belajar, yakni belajar adalah proses membangun model-model dan representasi-representasi internal yang merupakan cerminan atau refleksi dari struktur-struktur eksternal yang ada dalam dunia nyata.


Konstruktivisme radikal mencakup tiga keyakinan dalam epistemologi konstruktivisme von Glasersfeld (Doolitte dan Camp, 1999). Penerimaan terhadap ketiga keyakinan ini mengarah pada prinsip-prinsip yang berkaitan dengan sifat-sifat internal dari pengetahuan dan ide bahwa realitas eksternal ada, tetapi tidak diketahui oleh individu karena pengalaman seseorang terhadap bentuk-bentuk realitas eksternal memerlukan perantara indera, sedangkan indera tidak memberikan representasi akurat dari bentuk-bentuk realitas eksternal tersebut.
von Glasersfeld dalam mengemukakan epistemologi konstruktivisme mengacu epistemologi genetik Piaget (Steffe, 1996). Konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme individu sebagaimana konstruktivisme Piaget. Konstruktivisme radikal bukan suatu teori pengembangan atau teori pembelajaran, tetapi suatu model pengetahuan yang dapat digunakan oleh para ahli teori pengembangan pembelajaran untuk mengembangkan suatu model pembelajaran (Steffe, 1996). Pembelajaran beracuan konstruktivisme radikal memfokuskan pada siswa secara individu mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri.


Konstruktivisme sosial berbeda dengan konstruktivisme kognitif dan konstruktivisme radikal. Konstruktivisme sosial menerima secara penuh keempat epistemologi konstruktivisme (Dolitle dan Camp, 1999). Konstruktivisme sosial meyakini bahwa pengetahuan merupakan hasil dari interaksi sosial dan pemakaian bahasa, jadi merupakan pengalaman yang dihasilkan dari kesepakatan melalui tukar pendapat dalam interaksi sosial, dan bukan pengalaman yang hanya dihasilkan secara individu.


Gergen dan Vygotsky (dalam Doolittle dan Camp, 1999: 9) berpendapat interaksi sosial selalu terjadi dalam suatu konteks sosial-budaya, menghasilkan pengetahuan yang dalam memperolehnya dibatasi oleh waktu dan tempat. Keadaan ini diilustrasikan oleh Bakhtin (dalam Doolittle dan Camp, 1999: 9) sebagai berikut: kebenaran tidak ditemukan di dalam benak siswa secara individu, tetapi muncul dari sekelompok orang yang sedang mencari kebenaran melalui suatu proses interaksi dialogis. Kebenaran yang dimaksudkan adalah bukan kebenaran realitas obyektif dalam pandangan konstruktivisme kognitif atau pengalaman dari realitas dalam konstruktivisme radikal, tetapi kebenaran yang dikonstruksi secara sosial dan merupakan hasil kesepakatan dari partisipasi bersama dalam suatu kegiatan sosial. Heylighen (dalam Murphy, 1997) menjelaskan bahwa konstruktivisme sosial memandang kesepakatan antara subyek-subyek yang berbeda sebagai kriteria akhir untuk menentukan pengetahuan.


Berkaitan dengan pembelajaran, konstruktivisme kognitif dipandang sebagai bentuk konstruktivisme “lemah” karena konstruktivisme kognitif hanya melibatkan dua epistemologi konstruktivisme (Doolitle dan Camp, 1999) yang pertama. Istilah “lemah” di sini bukan didasarkan pada pertimbangan nilai, misalnya lebih baik atau lebih buruk, tetapi hanya suatu indikasi keterkaitannya dengan asumsi-asumsi dasar epistemologi konstruktivisme. Konstruktivisme kognitif memandang konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang bersifat teknis dalam menciptakan struktur-struktur mental, dan kurang memperhatikan aspek pengetahuan subyektif yang ada dalam benak siswa secara individu.


Konstruktivisme radikal dan konstruktivisme sosial keduanya dipandang sebagai bentuk konstruktivisme yang lebih “kuat”. Konstruktivisme radikal memperhatikan konstruksi struktur mental dan makna secara individu dengan menginterpretasi dan mengkonstruksi pengalaman berinteraksi dengan lingkungan. Dalam hal ini konstruksi radikal dipadang memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding konstruktivisme kognitif yang hanya memperhatikan konstruksi struktur mental (Doolittle dan Camp, 1999). Dalam konstruktivisme sosial lebih memperhatikan interaksi sosial dari pada konstruksi pengetahuan secara individu; penekannya pada konstruksi makna dalam suatu kegiatan interaksi sosial.


Berdasar ungkapan Cobb, Wood, dan Yackel (dalam Steffe, 1996) disimpulkan bahwa konstruktivisme radikal telah dijadikan acuan dalam pembelajaran matematika dengan menekankan pada proses siswa mengkonstruksi realitas matematika (mathematical reality), tetapi kurang memperhatikan aspek sosial. Lerman (dalam Steffe, 1996) berpendapat bahwa konstruktivisme radikal tidak berkaitan dengan konstruktivisme sosial, dan terpisah dari kerja Vygotsky. Tetapi Steffe (1996) berbeda pendapat dengan Lerman, Steffe berpendapat bahwa dalam konstruktivisme radikal memuat kegiatan interaksi sosial.


Doolittle dan Camp (1999) sependapat dengan Steffe, bahwa dalam pembelajaran beracuan konstruktivisme radikal dapat melibatkan kegiatan interaksi sosial. Interaksi sosial yang terjadi sebagai suatu proses yang mendukung siswa secara individu mengkontruksi pengetahuan berdasar pengamalan siswa sendiri. Von Glasersfeld (dalam Steffe, 1996: 3) menyatakan: ”knowledge is not passively received either through the senses or by way of communication; rather, knowledge is actively built up by the cognizing subject”, artinya: pengetahuan tidak secara pasif diterima melalui indera atau melalui komunikasi, tetapi pengetahuan secara aktif dibangun oleh kognisi subyek.


Menurut von Glasersfeld konstruktivisme radikal tidak membatasi interaksi pada interaksi sosial saja, tetapi dapat berupa interaksi dengan material di lingkungan. Confrey (dalam Steffe, 1996) menyatakan bahwa dalam konstruktivisme radikal interaksi tidak hanya terbatas pada interaksi sosial tetapi siswa dapat berinteraksi dengan unsur-unsur selain manusia di lingkungannya. Steffe (1996) berpendapat bahwa dalam konstruktivisme radikal memuat kegiatan interaksi yang sesuai dengan asumsi dasar Vygotsky bahwa belajar secara individu bergantung pada interaksi sosial.


Vygotsky dikenal sebagai Bapak konstruktivisme sosial, Vygotsky berpendapat: ”all higher psychological processes are originally social processes, share between people, particularly between children and adult” (Brown dan Ferrara dalam Taylor, 1993: 6) yang artinya semua proses psikologi yang lebih tinggi bermula dari proses sosial, berbagi pendapat antar orang, khususnya antara anak dan orang dewasa. Vygotsky juga menyatakan bahwa siswa dapat berinteraksi dengan material seperti alat peraga, dan melalui interaksi ini memfasilitasi siswa dalam memperoleh pemahaman yang lebih tinggi (Taylor, 1993).


Dengan memperhatikan uraian para ahli pendidikan di atas, disimpulkan bahwa: (1) konstruktivisme kognitif dan konstruktivisme radikal lebih menekankan pada konstruksi pengetahuan secara individu, interaksi sosial dipandang sebagai pendukung proses konstruksi pengetahuan secara individu berdasar pengalaman sendiri; (2) konstruktivisme sosial lebih menekankan konstruksi pengetahuan melalui proses interaksi sosial.


Berkaitan dengan interaksi sosial dalam pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme penulis berpendapat bahwa terdapat kesesuaian pendapat antara pendapat von Glasersfeld dan Vygotsky, yaitu dalam pembelajaran dapat memuat kegiatan yang melibatkan siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri, belajar dapat dilakukan secara individu, dan dapat melalui interaksi dengan orang lain.


Adanya kesesuaian antara pendapat von Glasersfeld dan Vygotsky dapat disinyalir dari pendapat Steffe (1996) dan Doolittle dan Camp (1999) yang menyatakan bahwa saat ini terdapat pergerakan dalam konstruktivisme radikal, di samping mencakup tiga epistemologi konstruktivisme yang pertama juga ada gerakan penerimaan terhadap sebagian epistemologi konstruktivisme yang keempat (Doolittle dan Camp, 1999: 6).


Dengan adanya pergerakan ini, penulis berpendapat dimungkinkan mengembangkan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang pada prinsipnya mengacu konstruktivisme yang menekankan pada aktivitas siswa mengkonstruksi pengetahuan secara individu berdasar pengalaman siswa sendiri tetapi didalamnya juga memuat kegiatan pembelajaran yang melibatkan interaksi sosial untuk mendukung proses konstruksi pengetahuan matematika yang dilakukan secara individu tersebut.


C. PSIKOLOGI KOGNITIF DAN KONSTRUKTIVISME
Menurut Slavin, salah satu prinsip dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak mudah menyampaikan pengetahuan kepada siswa, siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya (Slavin, 2000: 255). Dalam pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme guru dapat memfasilitasi proses pembelajaran sehingga siswa melakukan aktivitas mengkonstruksi pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Di samping itu, pembelajaran matematika yang memberi kesempatan kepada siswa menemukan kembali atau menerapkan ide, dan mendorong siswa menyadari dan berani menggunakan stategi belajar sendiri.


Berkaitan dengan siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika terdapat kesamaan pendapat antara Piaget dan Vygotsky yaitu bahwa perubahan struktur kognitif terjadi jika konsepsi baru masuk ke benak seseorang. Vygotsky menekankan pada interaksi sosial dalam mengkonstruk pengetahuan matematis dan maknanya. Sedangkan Piaget lebih menekankan pada kerja individu dalam mengkonstruksi pengetahuan matematika dan maknanya berdasar pada pengalaman siswa sendiri. Meskipun demikian Piaget tidak mengabaikan pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Slavin 2000: 256; Copeland, 1974: 32). Interaksi sosial menurut Piaget adalah kecenderungan bawaan sejak lahir. Interaksi sosial dalam pembelajaran beracuan konstruktivisme Piaget misalnya terjadi ketika siswa berdiskusi dalam kelompok.


1. Konstruktivisme Menurut Piaget
Jean Piaget lahir di Switzerland tahun 1896, awalnya sebagai seorang ahli biologi yang kemudian menekuni psikologi dan kemudian lebih dikenal sebagai psikolog. Hasil pemikiran dan kerja Piaget tentang apa dan bagaimana proses terjadinya perubahan struktur mental dalam benak siswa sampai saat ini masih sangat berpengaruh di bidang pendidikan matematika. Ia meyakini bahwa ”obyek” adalah bukan benda itu sendiri tetapi sesuatu yang dikognisi subyek yang telah dikonstruksi dengan cara membuat perbedaan dan koordinasi dalam persepsinya (Piaget dalam von Glasersfeld, 2006).


Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecakapan kognitif atau intelektual anak dan orang dewasa mengalami kemajuan melalui empat tahap (dalam Hudojo, 2003), yaitu sensori-motor (lahir sampai 2 tahun); pra-operasional (2 sampai 7 tahun): operasi konkret (7 sampai 11 atau 12 tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12 tahun). Dalam pandangan Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan lingkungan (Slavin, 2000).


Pada tahap pra-operasional karakteristiknya merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat langsung. Pada tahap operasi konkret siswa didalam berpikirnya tidak didasarkan pada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Pada tahap operasi konkret ditandai dengan siswa mulai berpikir matematis logis berdasar pada manipulasi fisik dari obyek-obyek. Pada tahap operasi formal siswa dapat memberikan alasan-alasan dengan menggunakan simbol-simbol atau ide daripada obyek-obyek yang berkaitan dengan benda-benda di dalam cara berpikirnya. (Hudojo, 2003).


Piaget meyakini bahwa kecenderungan siswa berinteraksi dengan lingkungan adalah bawaan sejak lahir. Siswa memproses dan mengatur informasi dalam benaknya dalam bentuk skema (scheme). Hudojo (2003: 59) menyatakan skema adalah pola tingkah laku yang dapat berulang kembali. Slavin (2000: 30) menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah laku dan pemikiran yang disebut skema. Jadi mengacu pada kedua pendapat Hudojo dan Slavin, skema adalah pola tingkah laku dan pemikiran yang dapat berulang kembali. Dengan demikian, skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan mengorganisasikannya. Penguasaan terhadap suatu skema baru mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental siswa.


Adaptasi berkaitan dengan penyesuaian skema yang sudah dimiliki siswa ketika berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Piaget adaptasi adalah suatu proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap pengalaman baru berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses menyerap pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau bahkan membentuk skema yang benar-benar baru (Hudojo, 2003: 60).


Perkembangan struktur mental siswa bergantung pada proses asimilasi dan akomodasi. Masuknya skema baru dalam struktur mental siswa terutama tergantung pada proses akomodasi dalam menyerap pengalaman-pengalaman baru dengan cara siswa sendiri. Melalui adaptasi ini siswa memperoleh pengalaman-pengalaman matematika yang baru berdasarkan pengalaman-pengalaman matematika yang telah dimilikinya.


Menurut Slavin (2000), psikologi kognitif yang dikemukakan Piaget merepresentasikan konstruktivisme individu, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses yang melibatkan siswa secara individu aktif mengkonstruksi struktur mental dan makna melalui pengalaman dan interaksi sosial. Konstruksi pengetahuan matematika menekankan pada konstruksi makna yang dilakukan secara aktif oleh individu berdasar pengalaman siswa sendiri. Mathew dalam (Sa’dijah, 2006) mengemukakan bahwa konstruktivisme Piaget termasuk konstruktivisme personal. Piaget lebih menekankan pada keaktifan individu dalam membentuk pengetahuan. Pengetahuan dibentuk sendiri oleh siswa yang sedang belajar.


2. Konstruktivisme Menurut von Glasersfeld
Ernst von Glasersfeld lahir di Munich, 1917, orang tuanya berasal dari Austria, dan besar di Northern Italy dan Switzerland. Belajar matematika di Zürich dan Vienna, dan selama perang dunia ke dua hidup sebagai petani di Irelandia. Dari tahun 1970, ia mengajar psikologi kognitif di Universitas Georgia, USA. Mendapat gelar guru besar emeritus tahun 1987. Pada tahun 1970, ia mulai merumuskan epistemology yang dikenal dengan kontruktivisme radikal, mengacu epistemology konstruktivisme Piaget .


Pendapat dan pandangan Psikolog von Glasersfeld dipengaruhi teori Piaget. Von Glasersfeld (dalam Murphy, 1997) memandang konstruktivisme radikal berdasar konsepsi-konsepsi pengetahuan. Glasersfled (1984) menyatakan: “some of the many ideas I have taken over from Piaget. Piaget's work has greatly influenced and encouraged me during the 1970s”; yang artinya banyak ide yang saya ambil dari Piaget. Kerja Piaget mendorong dan berpengaruh sangat besar selama tahun 1970; dan von Glasersfeld sependapat dengan yang dikemukakan Piaget: “Intelligence organizes the world by organizing itself.


Berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan pendapat von Glasersfeld berbeda secara radikal dengan konsepsi pemerolehan pengetahuan tradisional terutama dalam kaitan antara pengetahuan dan realitas. von Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan dan realitas tidak memiliki nilai mutlak, dan pengetahuan diperoleh secara aktif dan dikonstruksi melalui indera atau melalui komunikasi.


von Glasersfeld (1984) mengemukakan bahwa konstruktivisme radikal untuk tidak diinterpretasikan sebagai gambaran dari realitas secara mutlak tetapi sebagai model pengetahuan (model of knowing) dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam kognisi dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Dalam pembelajaran, konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme individu, sebagaimana konstruktivisme kognitif yang dikemukakan Piaget.


Berkaitan dengan pembelajaran, von Glasersfeld (dalam Yackel, Cobb, Wood, dan Merkel; 2002) menyatakan pandangannya sebagai berikut. Jika mempercayai bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh setiap individu yang belajar, maka pembelajaran menjadi sangat berbeda dengan pembelajaran tradisional yang meyakini pengetahuan ada di kepala guru dan guru harus mencari cara untuk mentransfer pengetahuan tersebut kepada siswa. Pembelajaran menurut konstruktivisme radikal memandang bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh individu. Jadi berdasar informasi yang masuk ke diri siswa, siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Hal ini, pada awal penyerapan pengetahuan, dimungkinkan terjadinya perbedaan konsepsi antar siswa terhadap hasil pengamatan.


Apa yang disampaikan guru belum tentu diterima siswa sebagaimana apa yang diharapkan guru. Tugas guru utamanya bukan mentransfer pengetahuan tetapi memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga siswa memiliki kesempatan aktif belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu mempertimbang adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa terhadap apa yang yang diamati. Dalam memahami suatu konsep sering terjadi konflik kognitif disebabkan oleh adanya problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya pengalaman siswa. Dalam hal seperti ini, guru perlu membuat kesepakatan-kesepakatan konseptual misalnya melalui diskusi kelas.


3. Konstruktivisme Menurut Vygotsky
Psikolog Rusia Lev Semionovich Vygotsky (meninggal tahun 1934), berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa mengemukakan dua ide. Pertama bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000) dan mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign system) yang individu berkembang dengannya (Ratner dalam Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu orang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan, dan sistem perhitungan.


Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip (Slavin, 2000: 256): (1) pembelajaran sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap; (2) ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); (3) masa magang kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai; dan (4) pembelajaran termediasi (mediated learning). Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkannya.


Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor, 1993). Banyak pemerhati pendidikan yang mengembangkan model pembelajaran berdasar teori pembelajaran Vygotsky, misalnya model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem posing.


C. PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERACUAN KONSTRUKTIVISME
YANG MELIBATKAN PENGGUNAAN POLA PIKIR INDUKTIF-DEDUKTIF

1. Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
Model pembelajaran matematika konstruktivisme sering diartikan sepenuhnya berseberangan dengan model pembelajaran matematika beracuan behaviorisme. Pembelajaran matematika beracuan behaviorisme menekankan pada perubahan tingkah laku siswa setelah memperoleh perlakuan pembelajaran. Pembelajaran matematika dipandang sebagai suatu proses perubahan atau kondisi tingkah laku yang dapat diamati sebagai hasil respon individu terhadap rangsang yang terjadi di suatu lingkungan. Benak siswa dipandang sebagai kapal kosong, suatu tabula rasa yang dapat diisi atau sebagai kaca yang merefleksikan realita.


Pembelajaran matematika beracuan behaviorisme berpusat pada upaya siswa mengumpulkan pengetahuan matematika dan guru berupaya mentransfernya. Dalam mentransfer pengetahuan ini, menjadikan siswa bersifat pasif, guru mengarahkan dan mengkontrol kegiatan, dan guru mendominasi kelas dengan pola mengajar: informasi-contoh soal-latihan sesuai contoh. Pembelajaran matematika beracuan behaviorisme dipandang kurang berhasil dan menjadikan siswa bersifat menghapal matematika (Hudoyo, 2005; Marpaung, 2003).


Pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme menekankan pada siswa aktif terlibat mengkonstruksi pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Melalui pengalaman belajar memungkinkan siswa menciptakan skema di benaknya. Skema-skema ini dapat berubah, diperluas melalui proses asimilasi dan akomodasi. Ide pokok yang mendasari teori pembelajaran matematika konstruktivisme bukan hal baru. Diawali oleh pendapat Socrates yang menyatakan terdapat kondisi dasar untuk pembelajaran di dalam kognisi individu. Tetapi yang mempengaruhi perkembangan konstruktivisme sampai saat ini adalah teori perkembangan intelektual Piaget (Kanuka dan Anderson dalam Clark, 2000).


Menurut Clark (2000) penerapan konstruksivisme di sekolah terbagi menjadi dua yaitu konstruktivisme kognitif dan konstruktivisme sosial. Piaget dipandang sebagai ahli pendidikan pertama yang menekankan proses perubahan konsep sebagai interaksi antara struktur kognitif yang dimiliki dan pengalaman baru. Selama tahun 1930 sampai 1940, konstruktivisme menjadi sorotan para pendidik di beberapa sekolah negeri di Amerika. Pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme menekankan pada kegiatan siswa dari pada guru. Guru sebagai fasilitator atau pelatih yang membantu siswa mengkostruksi konsep-konsep dan pemecahan masalah secara mandiri. Pandangan konstruktivisme radikal yang dikemukakan von Glasersfeld berdasar pandangan Piaget. Glasersfled (1984) menyatakan banyak ide yang diambil dari Piaget dan mempengaruhi pandangannya sejak tahun 1970.


Pada tahun 1930 Lev Vygotsky, ahli filsafat dan psikolog Rusia, dikaitkan dengan konstruktivisme sosial. Ia menyatakan adanya pengaruh konteks sosial dan budaya dalam pembelajaran dan juga mendukung suatu model pembelajaran penemuan (Murphy, 1997). Model pembelajaran beracuan konstruktivisme sosial menuntut guru berperan aktif dan kecakapan siswa berkembang secara alami melalui berbagai jalur penemuan dalam aktivitas sosial.


Pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme sosial lebih menekankan pada hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan. Heylighen (dalam Murphy, 1997) menjelaskan bahwa konstruktivisme sosial memandang kesepakatan antara subyek-subyek yang berbeda sebagai kriteria akhir untuk menentukan pengetahuan. “kebenaran” atau “realitas” akan disetujui jika dalam mengkonstruksi pengetahuan disepakati oleh banyak orang dalam kelompok sosial.


Meskipun pembelajaran matematika beracuam konstruktivisme yang mengacu pada psikologi kognitif Piaget (atau mengacu von Glasersfeld) tergolong dalam konstruktivisme individu, namun menurut Slavin (2000: 256) dan Copeland (1974: 32), Piaget tidak mengabaikan pentingnya interaksi sosial dalam mengkonstruksi matematika. Interaksi sosial yang terjadi di kelas dipandang sebagai aktivitas yang mendukung belajar siswa dalam mengkonstruksi matematika. Interaksi sosial ini dapat berbentuk saling tukar pendapat atau diskusi antar siswa, atau kegiatan belajar lainnya yang menjadikan terjadinya komunikasi lisan maupun tertulis antar siswa atau antara guru dan siswa.


Dalam interaksi sosial ini kemungkinan terjadi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar terbantu oleh teman atau gurunya. Forman dan McPhail (dalam Salvin, 2000: 46) menyatakan tutor oleh teman yang lebih pandai paling efektif dalam meningkatkan perkembangan ZPD (Zone of Proximal Development). Konsep ZPD Vigotsky berdasar pada ide bahwa perkembangan pengetahuan siswa ditentukan oleh keduanya yaitu apa yang dapat dilakukan oleh siswa sendiri dan apa yang dilakukan oleh siswa ketika mendapat bantuan orang yang lebih dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten (Daniels dan Wertsch dalam Slavin 2000: 47). Slavin (2000) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran Vigotsky menekankan pada scaffolding. Wood, Bruner, dan Ross (dalam Slavin: 2000: 47) menyatakan:
Scaffolding is a tactic for helping the child in his or her zone of proximal development in which the adult provide hint and prompt at different level.


Artinya scaffolding adalah suatu taktik untuk membantu anak dalam ZPD nya yang dilakukan oleh orang lebih dewasa dengan memberi saran dan petunjuk di tingkat berbeda.
Dalam interaksi sosial dikelas, ketika terjadi saling tukar pendapat antar siswa dalam memecahkan suatu masalah, siswa yang lebih pandai memberi bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan berupa petunjuk bagaimana cara memecahkan masalah tersebut, maka terjadi scaffolding, siswa yang mengalami kesulitan tersebut terbantu oleh teman yang lebih pandai. Ketika guru membantu secukupnya kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya, maka terjadi scaffolding.


Penulis berpendapat pembelajaran matematika seyogyanya mengacu pada konstruktivisme. Namun disamping itu juga perlu dikembangkan pembelajaran matematika dengan melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif dalam belajarnya. Kegiatan yang melibatkan siswa belajar menggunakan pola pikir induktif-deduktif perlu dirancang dan dilaksanakan oleh guru. Penulis berpendapat penggunaan pola pikir induktif dapat dikondisikan terutama dalam proses memahami suatu konsep atau generalisasi. Pola pikir deduktif dapat dikondisikan dalam pemecahan masalah misalnya dalam soal pembuktian. Namun karena pola pikir induktif dan deduktif sulit dipisahkan dalam pemecahan masalah maka penulis menarik kesimpulan dalam pemecahan masalah siswa dipandang terlibat dengan penggunaan pola pikir induktif-deduktif.


2. Pola Pikir Induktif-Deduktif
Piaget (dalam Boudorides, 1998) menyatakan pengorganisasian dalam benak membentuk skema. Istilah “organisasi” melukiskan kemampuan organisma mengsistematiskan atau mengorganisasikan proses-proses fisik atau psikologik ke dalam sistem yang berkaitan. Berkaitan dengan pembelajaran matematika, siswa memproses dan mengorganisir informasi dalam benaknya dalam bentuk skema (scheme).


Slavin (2000: 30) menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah laku dan pemikiran yang disebut skema. Hudojo (2003) menyatakan skema adalah pola tingkah laku yang dapat berulang kembali. Jadi mengacu pada kedua pendapat ini skema adalah pola tingkah laku dan pemikiran yang dapat berulang kembali. Penguasaan terhadap suatu skema baru mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental siswa. Hudojo (2003: 59) berpendapat sebenarnya skema itu adalah struktur kognitif yang digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan mengorganisasikannya.


Piaget memandang bahwa pertumbuhan berpikir sebagai adaptasi terhadap pengaruh lingkungan secara kontinu. Adaptasi adalah suatu proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap pengalaman baru berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses menyerap pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau bahkan membentuk skema yang benar-benar baru (Hudojo, 2003: 60).

Dalam pembelajaran matematika, siswa mengkonstruksi matematika melalui proses adaptasi dan organisasi. Perkembangan struktur mental siswa bergantung pada pengetahuan yang diperoleh siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi siswa memperoleh pemahaman matematika berdasar pada skema yang sudah dimiliki. Masuknya skema-skema baru dalam struktur mental siswa terutama tergantung pada akomodasi dalam menyerap dan memahami konsep-konsep atau struktur-struktur matematika dan mengorganisasikannya dalam struktur mental siswa.


Adaptasi merupakan keadaan setimbang dari asimilasi dan akomodasi. Jika dalam proses asimilasi individu tidak dapat mengadaptasi lingkungan, maka keadaan seperti itu dikatakan dalam keadaan ”ketidaksetimbangan”. Akomodasi sebagai akibat adanya ketidaksetimbangan ini, dan struktur yang ditampilkan dimodifikasi atau muncul yang baru. Perkembangan intelektual merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus dari keadaan seimbang menjadi tidak seimbang. Apabila kesimbangan kemudian tercapai, maka individu berada di tingkat intelektual yang lebih tinggi dari pada tingkat sebelumnya.


Proses asimilasi dan akomodasi merupakan proses berpikir yang terjadi dalam benak siswa. Dalam berpikir tentang matematika individu tidak lepas dari bernalar matematika. Penalaran matematika sebagai salah satu bagian dari proses berpikir matematika termasuk membentuk generalisasi dan menentukan kesimpulan-kesimpulan valid tentang idea-idea dan bagaimana keterkaitannya. Tipe terpenting dari penalaran matematika adalah penalaran induktif dan deduktif. Berpikir induktif diartikan sebagai berpikir dari hal-hal khusus menuju umum dan berpikir deduktif diartikan sebagai berpikir dari hal umum menuju hal khusus. Dalam penulisan ini pola pikir induktif diartikan sebagai suatu proses berpikir yang bermula dari hal-hal khusus menuju hal yang lebih umum. Pola pikir deduktif adalah suatu proses berpikir yang bermula dari hal yang bersifat umum menuju hal yang lebih khusus.


Dalam pembelajaran matematika, meskipun pada akhirnya siswa diharapkan mampu berpikir deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika dapat digunakan pola pikir induktif. Pembelajaran matematika terutama di jenjang SD/MI dan SMP/MTs masih sangat diperlukan penggunaan pola pikir induktif. Ini berarti dalam penyajian matematika di kedua jenjang pendidikan tersebut perlu dimulai dari hal-hal yang khusus, misalnya contoh-contoh, secara bertahap menuju suatu simpulan atau sifat yang umum. Simpulan dapat berupa suatu definisi atau teorema-teorema yang diangkat dari hal-hal khusus tersebut (Soedjadi, 2000).


Dalam pembelajaran matematika, pola pikir induktif digunakan oleh guru jika dalam menyampaikan materi pembelajaran dimulai dari hal-hal yang khusus menuju ke hal yang lebih umum. Dalam mengenalkan konsep bangun datar, misalnya persegi, guru dapat menunjukkan berbagai bangun geometri atau gambar datar kepada para siswa, dan mengatakan “ini namanya persegi”. Selanjutnya menunjuk bangun lain yang bukan persegi dengan mengatakan “ini bukan persegi”. Dengan demikian siswa dapat menangkap pengertian secara intuitif sehingga siswa dapat membedakan mana bangun yang berupa persegi dan mana yang bukan. Ini merupakan langkah induktif atau mengikuti pola pikir induktif (Soedjadi, 2000).


Setelah guru memberikan kasus khusus misalnya contoh-contoh, siswa mengamati, membandingkan, mengenal karakteristik, dan berusaha menyerap berbagai informasi yang terkandung dalam kasus khusus tersebut untuk digunakan memperoleh kesimpulan atau sifat yang umum. Ini merupakan bagian kegiatan yang penting dalam pembelajaran matematika beracuan kosntruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif. Melalui pengamatan pada kasus-kasus khusus tersebut, siswa memperoleh “pengalaman” yang diserap di benak siswa. Dengan demikian terjadi aktivitas aktif siswa dalam mengkonstruk matematika menggunakan pola pikir induktif.


Pembelajaran dengan melibatkan pola pikir induktif efektif untuk mengajarkan suatu konsep matematika, dan memberi peluang kepada siswa untuk memahami konsep atau memperoleh generalisasi dengan cara yang lebih bermakna. Siswa memperoleh pengalaman ketika melakukan pengamatan secara cermat pada kasus-kasus khusus yang diberikan guru. Berdasar pada hasil pengamatannya, siswa membangun pengetahuan yang berupa konsep atau memperoleh generalisasi secara mandiri berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam mengkonstruk matematika ini siswa terlibat dengan proses adaptasi dan organisasi, sehingga mempelajari konsep matematika dengan cara seperti ini dipandang lebih bermakna dari sekedar menghapalkannya (Marpaung, 2003).


Dalam rangka merancang pembelajaran matematika yang bermakna guru perlu memikirkan kegiatan yang melibatkan siswa menggunakan pola pikir deduktif. Hal ini untuk membiasakan siswa berpikir deduktif dalam belajarnya. Hal ini dikarenakan matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak dan penalarannya deduktif (Hudojo, 2005). Guru dapat mendesain kegiatan pembelajaran yang mampu mengungkap penggunakan pola pikir deduktif. Namun bagi siswa SMP/MTs penggunaan pola pikir deduktif ini sering dipandang berat, misalnya pembuktian dengan pola pikir deduktif. Di SMP/MTs, penggunaan pola pikir deduktif dapat diperkenalkan melalui penggunaan definisi atau teorema dalam pemecahan masalah (Soedjadi, 2000).
Polya (1973) menyatakan pemecahan masalah sebagai usaha jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Terdiri dari masalah untuk menemukan (problem to find) dan masalah untuk membuktikan (problem to prove). Hudojo (2003: 148) menyatakan suatu pertanyaan akan merupakan masalah hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Pertanyaan itu dapat juga terselinap dalam suatu situasi sedemikian hingga situasi itu sendiri perlu mendapat penyelesaian. Disinyalir dalam pemecahan masalah siswa sulit memisahkan dalam menggunakan pola pikir induktif atau deduktif.


Menurut Miyazaki (2000) bahwa dalam matematika di sekolah menengah rendah pembuktian memuat penalaran logika misalnya penalaran induktif, deduktif dan analogi. Oleh karena itu isi pembuktian memerlukan penalaran logika berdasar pada asumsi-asumsi benar bagi siswa sendiri. Kegiatan deduktif termuat dalam pemecahan masalah sebagaimana tersinyalir dari pada pendapat Soedjadi (2000):bahwa pola pikir deduktif dapat diperkenalkan melalui penggunaan definisi atau teorema dalam pemecahan masalah.


Menurut penelitian yang dilakukan Recio dan Godino (2002) dapat disinyalir bahwa masih banyak mahasiswa di tingkat pertama perguruan tinggi yang berpikir sebagaimana pada tahap operasi konkret dengan penalaran induktif. Masih banyak mahasiswa yang kurang mampu belajar matematika dengan proses deduktif. Berkaitan dengan pembelajaran matematika di sekolah, Recio dan Godino menyarankan untuk melakukan penelitian tentang pembelajaran berkaitan dengan pemecahan masalah.


Dalam pemecahan masalah siswa terlibat bukan hanya sekedar mengaplikasikan rumus dan aturan-aturan matematika, tetapi juga mengandung pengertian tentang abtraksi dan generalisasi matematika. Kadang siswa memecahkan masalah bergerak dari induktif menuju deduktif. Siswa dalam memecahkan masalah dalam berpikir menggunakan pola pikir induktif dan deduktif secara bergantian (Hudojo, 2003). Senada dengan Hudojo, Major (2006) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran lebih baik memuat keduanya kegiatan induktif dan deduktif meskipun tak dapat dihindari mana yang lebih dominan.


Berdasarkan pendapat Miyazaki, Soedjadi, Hudojo dan Major ini dapat disimpulkan bahwa dalam memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif-deduktif dalam arti dalam memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif dan deduktif secara bergantian. Meski istilah yang digunakan adalah pola pikir induktif-deduktif, dalam kegiatan pembelajaran matematika untuk siswa SMP/MTs penulis berpendapat yang lebih dominan seyogyana adalah kegiatan induktif. Dalam kegiatan induktif ini siswa diajak belajar menggunakan pola pikir induktif mengkonstruksi pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri.


C. PENUTUP
Konstruktivisme dapat memiliki beberapa pengertian bergantung pada epistemologi konstruktivisme yang diyakini dan dianut. Tiga kategori konstruktivisme yang dikemukakan dalam makalah ini adalah konstruktivisme kognitif, konstruktivisme radikal, dan konstruktivisme sosial. Konstruktivisme kognitif dan radikal tergolong dalam konstruktivisme individu.


Pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif merupakan pembelajaran pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa. Dalam inti pembelajaran, siswa diajak mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan menggunakan pola pikir induktif, dan melalui pemecahan masalah siswa terlibat dengan penggunaan pola pikir induktif dan deduktif.


Pembelajaran matematika beracuan behaviorisme dipandang memiliki banyak kelemahan dan menjadikan matematika dihafalkan. Salah satu alternatif pembelajaran matematika yang bermakna adalah pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif. Dalam pembelajaran ini siswa diajak aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan menggunakan pola pikir induktif. Agar siswa terbiasa menggunakan pola pikir induktif dan deduktif guru tidak hanya mengajarkan konsep-konsep matematika tetapi juga memberi masalah yang dalam memecahkannya siswa terlibat menggunakan pola pikir induktif-deduktif.


DAFTAR PUSTAKA
Belozerov, S. 2002. Inductive and Deductive Methods in Cognition. http://www. matrixreasoning.com/. Download tanggal 7 Desember 2002.
Clark, D. 2000. Constructivism. http://www.nwlink.com/~donclark/hrd/history/history. html. Download tanggal 25 Nopember 2006.
Clements, D.H dan Batista, M.T. 2002. Constructivist Learning and Teaching. Donald L. Chambers (Ed.): Putting Research into Practice in the Elementary Grades: Reading from Journal of the National Council of Teachers of Mathematics. Reston, Virginia: NCTM.
Copeland, R.W. 1974. How Children Learn Mathematics: Teaching Implications of Peaget’s Theory. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.
Davis, R.B. 1990. Discovery Learning and Constructivism. Constructivist View on the Teaching and Learning of Mathematics. Nel Noddings (Eds.): Journal for Research in Mathematics Educations. Monograph Number 4. (halaman 93 – 106). The National Council of Teacher of Mathematics.
Depdiknas. 2006. Permendiknas No. 22 tahun 2006: Kurikulum 2006 Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas.
Doolittle, P.E dan Camp, W.G. 1999. Constructivism: The Career and Technical Education Perspective. Kirk Swortsel (Ed.): Journal of Vocational and Technical Education. Volume 16, Number 1.
Doolittle, P.E. 2001. Integrating Constructivism and Cognitivim. {Comment & Suggestions Welcome]. Blackburgs: Virginia Polytechnic Institute & State University.
Dreyfus, T. 1990. Advanced Mathematical Thinking. Mathematical and Cognition: A Research Synthesis by the International Group for the Psychology of Mathematics Education. ICMI Studies Series. Cambridge: Cambridge University Press.
English, L.D dan Halford, G.S. 1995. Mathematics Educations Model and Process. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Heibert, J. 2003. What Research Says About the NCTM Standards. Jeremy Kilpatrick (Eds.): A Research Companion to Principles and Standards for School Mathematics (halaman 5 – 23). Reston: National Council of Teacher of Mathematics, Inc.
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA. Jakarta: IMSTEP.
Hudojo, H. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press).
Kemp, J.E. 1994. Proses Perancangan Pengajaran. Terjemahan oleh Asril Marjohan. Judul Asli The Instructional Design Process. Bandung: Penerbit ITB.
Khabibah, S. 2005. Pengembangan Model Pembelajaran Open-Ended untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Sekolah Dasar. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana UNESA.
Lithner, K. 2000. Mathematical Reasoning in Task Solving. Educational Studies in Mathematics 41: 165 – 190, 2000. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.
Major, FT. 2005. Inductive-Deductive Structure. http:/educ2.hku.hk/. Download: 8 Desember 2005.
Major, F.T. 2006. The Squencing of Content Inductive and Deductive Approach. Inductive-Deductive Approach. htm. http://educ2.hku.hk/ Download: 24 Agustus 2006.
Marpaung, Y. 2003. Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Darma. Tanggal 27-28 Maret 2003. Yogyakarta: Universitas Sanata Darma.
Maslowski, R dan Visscher, A 1999. The Potential of Formative Evaluation in Program Design Models. Dalam Plomp, T; Nieven, N; Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in Education and Training. London: Kluwer Academic Publisher.
Matlin, M.W. 1998. Cognition. New York: Harcout Brace College Publishers.
Miyazaki, M. 2000. Levels of Proof in Lower Secondary School Mathematics. Educational Studies in Mathematics 41: 47 - 68, 2000. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.
Murphy, E. 1997. Constructivist Epistemology. Constructivism: Philosophical & Epistemological Foundation. Download. 24 Agustus 2006.
NCTM. 2000. Principle and Standard for School Mathematics. Reston: The National Council of Teacher Mathematics, Inc.
Parke C.S, Lane S, Silver E.A, dan Magone M.E. (2003). Using Assesment to Improve Midlle-Grades Mathematics Teaching & Learning. Reston: The National Council of Teacher Mathematics, Inc.
Prince, J.P. Felder, M.F. 2006. Inducitive Teaching and Learning Methods: Definitions, Comparations, and Research Bases. J. Engr. Education, 95(2), 123–138 (2006).30.
Polya, G. 1973. How To Solve It. Princeton: Princeton University Press.
Ratumanan, T.G. 2003. Pengembangan Model Pembelajaran Interaktif dengan Setting Kooperatif (Model PISK) dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SLTP di Kota Ambon. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana UNESA.
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn & Bacon.
Sa’dijah, Ch. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pasca Sarjana UNESA.
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Depdiknas.
Soedjadi, R. 2000b. Rancangan Pembelajaran Nilai dalam Matematika Sekolah. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Matematika, Pengajaran dan Problematikanya Memasuki Milenium III, di FMIPA UNNES Semarang, 12 Agustus 2000.
Soedjadi, R. 2003. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan dalam Pembelajaran Matematika.
Solso, R.L. 1995. Cognitive Psychology. Boston: Allyn and Baccon.
Steffe, L.P. 1996. Intersubyectivity in Mathematics Learning: A Challenge to the Radical Constructivist Paradigm? A Replay to Lerman [1]. http: S13a. math.aca.mmu.ac.uk/. Download: 5 Juni 2000.
Stiff, L.V; Johnson, J.L; dan Johnson, M.R. 1993. Cognitive Issues In Mathematics Education. Patricia S. Wilson (Ed.), Research Ideas For The Classroom: High School Mathematics (halaman 3 – 20). New York: Macmillan Publishing Company.
Suwarsono. 1999. Problematika Pendidikan Matematika di Indonesia. Tulisan dimaksudkan sebagai sebuah pengantar untuk matakuliah “Penelitian Lanjut” pada Program S3 Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Surabaya, September 1999.
Recio, A.M dan Godino, J.D. 2002. Institutional and Personal Meanings of Mathematical Proof. Educational Studies Mathemathics 48: 83 – 99. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.
Taylor, L. 1993. Vygotskian Influence in Mathematics Education, with Particular Reference to Attitude Development. Focus on Learning Problems in Mathematics. Spring & Summer Edition. Volume 15, Numbers 2 & 3. (halaman 3-16). Center for Teaching/Learning of Mathematics.
Von. Glassersfeld, E. 1984. An Introduction to Radical Constructivism. Author’s translation in P. Watzwalick (Ed), The Invented Reality. Newyork: Norton, 1984. Originally published P. Watzlawick (Ed), Die Erfundene Wirklichkeit. Munich: Piper, 1981. Erns von Glasersfeld, on line paper, html. Download, 24 Agustus 2006.
Von Glaserfeld, E. 2006. An Exposition of Constructivism: Why Some Like it Radical. Internet on line. Massachusetts: Scientific Reasoning Research InstituteUniversity of Massachusetts
Wilson, B., Teslow, J.L., Taylor, L. 1993. Instructional Design Perspectives on Mathematics Education With Reference to Vygotsky’s Theory of Social Cognition. Focus on Learning Problems in Mathematics. Spring & Summer Editions. Volume 15, Numbers 2 & 3. (halaman 65 – 85). Center for Teaching/Learning of Mathematics.
Yackel, E. Cobb, P. Wood, T. Merkel, G. 2002. Experience, Problem Solving, and Discourse as central Aspect of Constructivism. Cambers, D (Eds). Putting research into Practice in the Elementary Grades. Reading from Journals of the National Council of Teacher

0 Response to "TINJAUAN FILSAFAT DAN PSIKOLOGI KONSTRUKTIVISME: PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG MELIBATKAN PENGGUNAAN POLA PIKIR INDUKTIF-DEDUKTIF"

Posting Komentar